Siapa yang Membayar Hutang Indonesia?

Di malam hari, setelah selesai salat isya, Arifin duduk di emperan rumahnya. Di sebuah bangku yang terbuat dari bambu, menghadap ke selatan. Ia mengipas-ngipaskan pecinya yang kekuningan. Peci satu-satunya yang ia punya dan selalu dikenakan saat salat. Ia merasakan hawa yang panas. Semilir angin dari kibasan pecinya sedikit demi sedikit masuk ke dalam baju koko cokelatnya, dua kancing paling atas dibiarkan terbuka. Sekali dua kali ia memejamkan matanya karena menikmati segarnya angin yang dirasakan.

            Saat matanya terpejam, awalnya ia tidak memikirkan apapun. Hanya angin segarlah yang ia rasakan. Hingga pada saatnya, di suatu detik ia tiba-tiba kepikiran mengenai urusan manusia yang nantinya akan dibawa mati. Memang, saat manusia mati tidak akan membawa apa-apa, bahkan sepeser uang pun tidak. Namun, ada satu dalam pikiran Arifin, bahwa saat manusia mati, ia akan membawa satu urusannya, yakni utang.

            Arifin sudah paham bahwa saat manusia mati, seberapa saleh atau salihahnya manusia itu apabila meninggal dalam keadaan masih mempunyai utang, maka hutang tersebut akan terus bersamanya. Terlebih lagi, saat orang yang diutangi tidak ikhlas. Maka saat ada orang yang meninggal, saat jenazah hendak dikuburkan, ataupun setelah dikuburkan seorang kyai di kampung Arifin yang bernama Subari, selalu berpesan bahwa “Jika Fulan mempunyai utang kepada saudara sekalian, janganlah enggan untuk menagihnya kepada keluarga yang bersangkutan.”

            Tangan Arifin terus mengibas-ngibaskan pecinya. Kedua kakinya yang semula menggantung, kini diangkatnya satu sebelah kanan. Dinaikkannya di atas bangku, yang terbuat dari bambu. Sembari menikmati angin kecil dari pecinya, Arifin melanjutkan apa yang ada di pikirannya. Masih seputar utang-piutang. Namun, kini permasalahannya semakin meluas. Bukan hanya utang manusia kepada manusia, tetapi utang yang dihimpun oleh Bangsa Indonesia.

            Benar! Arifin memikirkan utang Indonesia.

“Dunia ini nanti kan pasti akan kiamat. Seluruh alam semesta dan isinya akan lenyap. Tidak tersisa sedikit pun.” Gumamnya dalam hati.

“Lah, Indonesia ini kan termasuk ke dalam dunia to? Termasuk dalam alam semesta dan isinya, ya to? Sekarang Indonesia sudah maju. Banyak infrastruktur baru yang dibikin oleh pak pemerintah. Gedung-gedung tinggi pencakar langit makin banyak. Teknologi makin canggih. Tapi aku denger-denger dari berita di tv, Indonesia juga punya banyak hutang kepada Bank Dunia. Waduh, celaka ini!” ia melanjutkan.

Entah celaka bagaimana yang dimaksud Arifin masih belum jelas. Yang pasti, ia memikirkan nasib Indonesia dengan segala utang-piutangnya. Perlu diketahui, Arifin merupakan pemuda kampung yang hanya sekolah sampai MTs, tetapi dikenal ramah dan sumeh kepada semua orang. Ia menyampaikan kecemasannya tersebut kepada seorang lelaki tua. Seorang laki-laki yang biasa ia jadikan sebagai panutan namun enggan disebut sebagai guru, ustaz, apalagi kyai. Padahal, ia adalah orang yang mengajar ngaji anak-anak kecil di kampungnya. Orang-orang di kampung itu pun, merasa bahwa ia berhak dipanggil dengan sebutan di atas karena ilmu yang dimilikinya. Tetapi lelaki tua itu hanya mau dipanggil dengan sebutan “Cak”.

            Arifin mengenakan peci di kepalanya. Ia berdiri memakai sandal jepit karet yang berwarna biru. Sambil berjalan, ia mengancingkan dua bagian atas bajunya.

“Wah, aku harus segera ke rumah Cak Run ini. Aku pengen tahu siapa ya yang nanti menanggung utang Indonesia kalau sudah kiamat, kalau utangnya belum terbayar lunas?” Arifin berjalan cepat menuju rumah Cak Run.

“Jam segini biasanya Cak Run belum tidur.” Lanjutnya dalam hati.

            Benar yang digumamkan oleh Arifin. Cak Run belum masuk ke rumahnya untuk tidur. Ia masih ada di sebelah rumahnya, di bawah pohon jambu air. Duduk di atas dipan yang tidak terpakai, namun bersih karena sering digunakan tetangganya untuk sekedar duduk dan ngobrol setiap harinya. Cak Run dari kejauhan terlihat sedang mengangkat cawan dan juga gelasnya. Arifin semakin dekat.

“Sluuurrrp..” suara yang terdengar saat Cak Run selesai meminum kopi hitamnya.

“Wah, kelihatannya seger banget, Cak.” Sapa Arifin saat berada di hadapan Cak Run.

“Iya nih, Pin. Malam-malam gini habis salat isya emang segernya minum kopi buatan istri.” Cak Run dan orang-orang di kampung terbiasa memanggil Arifin dengan “Pin”, karena susah melafalkan huruf “F” maka jadilah “Aripin”. “Aku tahu, kamu ke sini pasti ada sesuatu yang ngganjel di pikiranmu.” Tebak Cak Run yang sudah tahu maksud Arifin ke rumahnya pasti tidak cuma-cuma.

            Cak Run sudah terbiasa dengan Arifin yang tiba-tiba datang kepadanya, membawa sebuah pertanyaan yang dapat dikatakan nyeleneh, tidak masuk akal, hingga yang kelas berat seperti kali ini. Cak Run mengerti karakteristik sosok Arifin.

Wes pasti, Cak. Aku ke sini bawa satu pertanyaan, Cak.” Saat mengatakan maksudnya, Arifin sudah duduk di sebelah Cak Run, sesaat setelah disilakan duduk oleh empunya rumah.

Dari beberapa pertanyaan yang pernah diajukan oleh Arifin, Cak Run selalu dengan cepat dan siap menjawabnya. Namun kali ini Cak Run benar-benar kaget mendengar Arifin menanyakan perihal utang Indonesia. Arifin menyampaikan kecemasannya tersebut. Singkat cerita, Arifin sudah menyampaikannya pada Cak Run.

“Masalahnya gini, Cak. Nanti kalau dunia sudah kiamat dan Indonesia belum bayar utangnya, siapa yang bakal nanggung utang itu? La wong orang mati saja masih harus berurusan dengan utang-piutang semasa hidupnya, apalagi bangsa yang besar ini?” Arifin menambahkan.

“Jangan-jangan, nanti utang Indonesia disuruh nanggung rakyatnya, Cak?” Arifin mengagetkan Cak Run dengan pertanyaannya. Pasalnya, Cak Run saja tidak sampai kepikiran hal seperti itu.

“Masyaallah, Pin. Kamu ini kesambet apa kok tiba-tiba kepikiran kaya gitu?” reaksi Cak Run setelah mendengar pertanyaan yang dilontarkan oleh Arifin.

“Nggak, Cak. Cuma iseng-iseng aja. Tadi di emperan rumah habis salat isya tiba-tiba kepikiran aja. Hehehe” jawab Arifin cengengesan.

“Kamu ini ada-ada saja, Pin. Habis salat isya kan enaknya ngopi seperti aku gini. Bukannya malah mikirin hal-hal yang bukan urusan kita.” Cak Run menjawab dengan sedikit menggerutu.

“Loh, bukan urusan kita gimana, Cak? Indonesia ini kan katanya negara kita, bangsa kita. Kita kan hidup di Indonesia. Jadi apa yang dihadapin Indonesia kan harusnya jadi tanggungan kita semua, Cak. Seluruh rakyat Indonesia, gitu kalo kata pak pemerintah. Bener gitu nggak sih, Cak? Hehehe.” Arifin tampaknya kelewatan bersemangat untuk menyanggah perkataan Cak Run.

“Nah, itu kamu sudah tahu jawabannya. Kenapa masih datang ke sini, Pin?” timpal Cak Run.

“Eh nggak, Cak. Itu tadi aku  kebablasen hehehe.” Arifin lagi-lagi cengengesan. “Lah yang bener itu gimana ya, Cak? Maksudnya, siapa nanti yang bakal nanggung hutang Indonesia setelah kiamat?” lanjutnya.

“Begini, Pin. Memang berat betul apa yang ada di pikiranmu itu. Namun tidak ada salahnya jika kamu turut prihatin dengan utang yang diemban oleh Indonesia. Persoalan siapa yang akan menanggung hutang tersebut, itu persoalan yang mudah.” jawab Cak Run.

“Wah, mudah to, Cak? Gimana itu, Cak?” respon Arifin yang kelewat penasaran.

“Sabar, Pin. Ini kan aku juga mau menjawab, to. Minum dulu itu kopimu. Nanti dingin, loh.” Cak Run menyilakan Arifin untuk meminum kopi yang telah dibuatkan oleh istri Cak Run.

“Iya, Cak. Sudak tak minum ini. Ayo gimana itu, Cak jawabannya?” desak Arifin.

“Sekarang gini, Pin. Kamu merasa kamu rakyat Indonesia?” tanya Cak Run.

“Iya, Cak” jawabnya.

“Jadi kamu bagian dari Indonesia?”

“Jelas, Cak.”

“Kamu tahu nggak Indonesia punya utang?”

Arifin menganggukkan kepalanya.

“Tapi, saat Indonesia pengen minjam uang ke Bank Dunia, kamu diberitahu tidak?”

Arifin menggeleng.

“Kamu dimintai pendapat apakah kamu setuju kalau Indonesia mau utang? Kamu diminta tanda tangan di surat perjanjian utangnya? Kamu diberitahu berapa banyak yang bakal dipinjam oleh Indonesia?” tanya Cak Run kepada Arifin bertubi-tubi.

Arifin hanya bisa menggelengkan kepala. Sesekali ia bahkan menggaruk-garuk kepalanya.

“Itu tadi jawabanmu tidak semua, to? Lalu ngapain kamu pusing-pusing mikirin utang Indonesia. La wong kamu sebagai rakyatnya saja tidak dilibatkan, tidak diminta persetujuan dalam urusan pinjam-meminjam utang itu, kok kamu baik hati banget ngurusin hal kayak gitu.” Ujar Cak Run.

“Wah, iya juga ya, Cak. Jangan-jangan aku di sini tidak dianggap? Tidak dianggap sebagai rakyat?” selidik Arifin. “Tapi, Cak kalau nanti di akhirat kita hendak masuk ke surga, tapi dihentikan oleh Malaikat Munkar dan Nakir tentang utang Indonesia bagaimana?” Arifin tetap penasaran.

“Lah gampang saja. Nanti di alam kubur tinggal gini aja.” Cak Run menjawab hanya dengan menggelengkan kepala. Sesekali, ia mengangkat tangan. Menunjukkan bahwa ia tidak tahu apa-apa. Sesekali juga mengangkat kedua pundaknya.

“Wah, gitu ya, Cak. Misalnya nanti di alam kubur Munkar Nakir nanya ke aku ‘Arifin, bagaimana ini utangnya Indonesia kok belum dibayar?’ Aku tinggal gini saja ya, Cak.” Sambil mempraktikkan yang dilakukan oleh Cak Run. Mengangkat tangan. Mengangkat kedua pundak.

Matur nuwun kalau begitu, Cak. Aku sudah lega sekarang. Pamit dulu ya, Cak. Assalamualaikum.” Arifin pamit dengan raut muka yang lega, senang.

Arifin berjalan pulang dengan tangannya yang tidak berhenti diangkat, sesekali pundaknya pun terangkat. Menirukan gaya Cak Run. Begitu seterusnya sampai ia tidak terlihat lagi dari pandangan Cak Run.

*Diinspirasi dari pertanyaan salah satu Jamaah Maiyah berdasarkan jawaban Cak Nun.

Penulis : Nurul Hidayah