Omnibus Law Disahkan, Kita Bisa Apa?

Kendati telah menjadi pembahasan lama (yang nggak lama-lama banget), namun nyatanya isu Omnibus Law masih saja cukup asing di telinga sebagian orang, tidak terkecuali bahkan bagi kaum mahasiswa. Dikenal lantang dan kritis, nyatanya masih banyak juga mahasiswa yang acuh-tak acuh dengan runyamnya pembahasan Omnibus Law. Selagi tulisan ini dibuat di ruang kelas pagi tadi, saya tiba-tiba mendengar celotehan seorang teman “Omnibus Law itu apa sih?”. Selang beberapa menit, saya cek media sosial, seorang teman menulis lagi, berisi singgungan terhadap mereka yang geram dengan pengesahan omnibuslaw. “Asikin aja lur sambil garap tugas yang seabreg” tuturnya. Sialan, bagaimana bisa tugas kuliah yang seabreg menghilangkan empati.
Berbagai alasan dilontarkan oleh mereka yang hingga kini tak paham kenapa Omnibus ini sekarang lebih viral daripada video Tiktok mamah muda. Mulai dari isu yang dinilai tidak “relatable” dengan mereka, eksposur yang kurang terhadap berita yang dianggap berat, hingga alasan kurangnya minat baca masyarakat kita saat ini. Kini setelah disahkan (5/10), UU Cipta Kerja menjadi momok yang siap menghantui linimasa Twitter para gen-Z di Indonesia.
Ya sudah, memang inilah yang dimaksud Marcell ketika ia melantunkan Tuhan memang satu,kita yang tak sama… dalam lagunya yang berjudul “Peri Cintaku.” Yang jadi pertanyaan sekarang, kenapa sih memangnya mahasiswa, bahkan seluruh lapisan masyarakat ini perlu banget memahami, atau bahkan ikut andil dalam menolak Omnibus Law?
Perlu kita pahami bahwa dalam kurun waktu kurang dari lima tahun, seorang mahasiswa akan diwisuda, dan lantas terjun dalam kancah perebutan lapangan pekerjaan. Titel mahasiswa pun akan bergeser menjadi karyawan, pegawai, atau wirausahawan (bagi mereka yang memilih demikian). Hal ini pun pastinya akan membuat kita menjadi sosok yang turut terkena imbas dari UU Ciptaker yang baru saja disahkan. Meski belum terasa sekarang, namun nantinya, kita sebagai calon pekerja pun juga akan merasakan kerugian dari disahkannya UU laknat tersebut.
Tak hanya itu saja, rasanya tidak ada salahnya bagi kita, yang dianggap sebagai kaum penggerak, untuk setidaknya menaruh empati pada kawan-kawan pekerja yang tengah berjuang keras menuntut haknya saat ini. Terkesan remeh, namun seruan menulis penolakan dengan tagar #Tolakomnibuslaw maupun sejenisnya di media sosial sebenarnya merupakan langkah yang tidak sia-sia. Dengan ikut memviralkan seruan penolakan Omnibus Law, setidaknya kita berperan dalam menyebarkan kesadaran kepada masyarakat luas tentang apa Omnibus Law itu sendiri, dan kenapa ia penting untuk kita bahas saat ini.
People Power
Meski DPR dengan oonnya telah mengetuk palu ‘sah’ , namun seruan penolakan Omnibus Law justru makin kencang diteriakkan. Ajakan menggunakan tagar #batalkanomnibuslaw, #jegalsampaigagal, dan #mositidakpercaya ramai digalakan di berbagai lini media sosial. Tujuannya? Tentu untuk makin menggelorakan apa yang selama masa pemilu presiden periode lalu dikenal dengan istilah people power. Dengan kekuatan masa, meskipun hanya berbekal tagar, namun dapat mengubah pandangan orang kebanyakan, dan menyadarkan mereka yang selama ini selalu skip unggahan–unggahan berkenaan dengan aturan sapu jagat itu. Setidaknya, dengan menduduki peringkat teratas tren di Twitter, masyarakat mau tak mau akan turut nimbrung dalam pembahasan tersebut. Walhasil, dengan tingginya partisipasi masyarakat, tak ayal gerakan masif semacam penggulingan Soeharto dapat terjadi lagi, akan tetapi tentunya semua pihak tidak mengharapkan tragedi kelam itu terulang kembali. Sungguh tidak adil jika rakyat yang harus kembali menjadi korban. Untuk itu upaya baik demi dicabutnya UU laknat ini seharusnya terus menerus digencarkan. Tanpa kekerasan, tanpa tragedi lainnya. Harus.
Pandemi yang melanda tentu menjadi rintangan tersendiri bagi ninja warrior masyarakat, yang mungkin saja berpikir dua kali untuk turun ke jalan, menyuarakan pikirannya. Namun, bukan tak mungkin bagi masyarakat kita, dengan kreativitas yang dimilikinya, akan menemukan alternatif lain untuk membuat suaranya didengar oleh mereka para pemangku kekuasaan. Tidak mustahil, lho, unggahan Tiktokmu dapat meluluhkan hati para anggota dewan.
Tapi memang para penguasa sudah seperti mayat, telinga, mata dan hatinya sudah tidak bisa berfungsi. Jika tahun 2019 lalu seluruh elemen masyarakat di setiap provinsi melakukan demonstrasi. Di masa pandemi saat ini anjuran protokol kesehatan menjadi alibi pemerintah untuk menekan massa. Pemerintah terlalu banyak becanda dalam menangani pandemi sejak awal mula hingga kini. Mereka mungkin merasa sedang bermain twitter, terus menerus melontarkan pernyataan konyol demi menuai retweet media. Pemerintah hanya akan serius jika menyangkut urusan partai dan golongan. Jika seperti ini, akankah tagar #MosiTidakPercaya hanyalah akan menjadi tagar tanpa adanya langkah hukum ?
Setelah menyaksikan cuplikan video singkat yang beredar di Twitter saat DPR menggelar sidang paripurna pengesahan Omnibus Law lalu menengok peristiwa 1998, tidak salah rasanya mengklaim bahwa pemerintah hanya akan mendengarkan rakyatnya jika gedung mereka telah terbakar. Apalagi ketika Puan Maharani terlihat membisukan mikrofon fraksi Demokrat yang kontra terhadap Omnibus Law di ruang rapat. Jika protes keras yang berasal dari satu golongan saja sikap pemerintah dan DPR sudah demikian, lalu kita harus bagaimana? Untuk saat ini, sepertinya menghujat tindakan pemerintah di media sosial adalah langkah paling tepat. Teruslah menghujat dan menghujat, setidaknya kita masih punya akal dan nurani. Mengutip kata Mbah Pram, “Kita telah melawan, Nak, Nyo. Sebaik-baiknya, sehormat-hormatnya.”
Penulis : ADP/C
Editor : C
(ADP)