Komersialisasi Pendidikan Mengakibatkan Diskriminasi terhadap Akses Ilmu Pengetahuan

“Mencerdaskan kehidupan bangsa” sepenggal kalimat dari pembukaan UUD 1945 pada alinea keempat yang pernah saya dengar saat pagi hari berpanas-panasan mengenakan seragam putih merah. Saya hanya mendengar dan menghafalnya tanpa pernah tahu apa makna dari kalimat tersebut. Seiring berjalannya waktu, semakin bersarang interpretasi dari makna kalimat tersebut. Namun seiring bertambahnya usia, semakin menyadarkan saya bahwa kalimat itu hanya sebatas kontekstual yang dijadikan ceremony upacara hari senin.
Sejak jatuhnya rezim si tangan besi Soeharto, ada sedikit transformasi sistem pendidikan yang saat ini cenderung berorientasi ke profitabel, daripada mendistribusikan pendidikan itu sendiri. Keuntungan-keuntungan tersebut diperoleh birokrasi melalui pendaftaran perkuliahan yang berhierarki hingga dua atau tiga keturunan, yaitu pendaftaran gelombang pertama, gelombang kedua hingga gelombang ketiga. Belum lagi keuntungan yang didapatkan dari penerbitan buku perkuliahan dan biaya-biaya tambahan untuk menunjang kegiatan akademis.
komersialisasi pendidikan dipastikan memberatkan mahasiswa melalui pembiayaan yang berlebihan, bahkan cenderung jorjoran. Mungkin secara sederhananya dapat digambarkan komersialisasi pendidikan sebagai praktik bisnis atau ekonomi yang hanya mencari keuntungan finansial lewat ranah pendidikan. Hal tersebut sangat kontradiktif dengan filosofi pendidikan tinggi di negara ini, yaitu tridarma perguruan tinggi yang berbunyi “Pendidikan dan pengajaran bagi anak bangsa”, “Penelitian dan pengembangan untuk memajukan ilmu pengetahuan”, dan “Pengabdian kepada masyarakat.” Dari ketiga poin tersebut tidak ada yang menjerumus ke tanah bisnis. Tidak ada satu pun poin yang menyasar ke interaksi penjual dan pembeli antara mahasiswa dan instansi pendidikan.
Namun, sekarang sudah berubah drastis, yakni menjadi basis proyek industri dan ladang mencari keuntungan bagi para pemodal. Kampus berubah layaknya pabrik yang “memproduksi” sarjana, yang diproyeksikan sebagai komoditi dari mesin-mesin kapitalisme yang berafiliasi dengan kampus.
Pendidikan saat ini terasa berporos pada dunia industri, dapat kita rasakan dengan slogan menuju manusia 4.0 yang selama ini digaungkan oleh birokrasi perguruan tinggi melalui pekan orientasi mahasiswa dan berbagai seminar.
Industrialisasi pendidikan tidak hanya digaungkan oleh birokrasi perguruan tinggi, pihak pemerintah pun ikut gencar dalam mensosialisasikan gagasan tersebut. Hal ini dijelaskan oleh Menteri Koordinator bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (PMK), Muhadjir Effendy dalam wawancaranya di Jakarta, CNN Indonesia “Sebaran program studi di perguruan tinggi tidak sesuai dengan kebutuhan industri”.
Bisa saya simpulkan arah pendidikan saat ini melalui lembaga-lembaga pendidikan sedang diaransemen untuk mengakomodasi kebutuhan-kebutuhan industri global.
Komersialisasi pendidikan serta masuknya kapitalisme ke dalam dunia pendidikan dapat kita buktikan dengan perubahan mencolok seperti dibangunnya gedung-gedung megah nan mewah di beberapa kampus dengan jorjoran. Apabila diamati dan dipikir secara logika realistis, apakah mampu institusi nonprofit membangun gedung megah nan mewah tersebut?
Ya mungkin, gedung-gedung megah nan mewah tersebut hanya bonus atau reward yang didapat dari sahabat birokrat kampus yakni para kaum industrialis. Mungkin, gedung-gedung itu sebagai bentuk sedikit ucapan rasa terima kasih perusahaan kepada kampus yang telah setia mendelegasikan “robot”nya untuk dijadikan mur dan baut perusahaan terkait untuk percepatan akumulasi modal dan laba si pemilik perusahaan.
Industrialisasi pendidikan ini menyebabkan suatu diskriminasi komoditas yang hanya bisa diakses segelintir orang. Seperti halnya mahasiswa yang tidak bisa mengikuti ujian akhir semester (UAS). Sebabnya, mereka terhambat dengan biaya kuliah yang menunggak.
Apalagi, mahasiswa baru pun ikut merasakan beratnya tanggungan biaya pendaftaran, sehingga tidak sedikit mahasiswa yang memilih terjun ke dunia kerja daripada melanjutkan kuliah.
Hari ini, pendidikan bukan lagi merupakan barang publik yang dapat dimiliki secara universal. Namun, pendidikan hanya milik segelintir orang dan memberikan dampak bagi sebagian kelas saja. Mengakses pendidikan dan ilmu adalah hak fundamental manusia, pendidikan yang seharusnya menjadi fasilitas publik dan hak setiap manusia dengan tujuan memajukan peradaban manusia agar lebih memahami hakikat dan fitrahnya sebagai seorang manusia. Tampaknya makna penggalan pembukaan UUD 1945 kurang relevan dengan kondisi pendidikan yang saya amati saat ini.
Penulis: Yasin Fajar A.