SBMI Terima 188 Aduan Sepanjang 2021, Greenpeace Dorong Pengawasan dan Regulasi
Semarang, Vokalpers – Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI) menerima 188 laporan kasus perbudakan terhadap anak buah kapal (ABK) Indonesia yang bekerja di kapal ikan berbendera asing sepanjang tahun 2021. Dari aduan tersebut, wilayah Jawa Tengah (Jateng) mempunyai potensi besar dalam permasalahan tersebut, yakni sepanjang 2021 berjumlah 98 aduan dari daerah jalur Pantai Utara (Pantura) Jateng. Di antaranya, Tegal, Brebes, Pemalang, Banyumas, Kebumen, dan Cilacap.
Berangkat dari hal itu, Greenpeace Indonesia yang merupakan suatu lembaga swadaya masyarakat serta organisasi lingkungan global, mendorong perusahaan dan pemerintah untuk bersama-sama menghentikan praktik perbudakan ABK Indonesia. Pihaknya menyarankan permasalahan tersebut bisa mendapatkan solusi, baik melalui regulasi maupun pengawasan.
“Setelah masyarakat tahu bahwasanya ada kasus perbudakan, terbangun awareness dari publik untuk ikut mendorong pemerintah atau perusahaan atau pihak- pihak terkait bagaimana kita bersama-sama menghentikan praktik perbudakan ini, baik dari sisi regulasi dan pengawasan juga bagaimana tata kelola ini bisa kita atur,” kata Afadillah, selaku perwakilan Greenpeace Indonesia saat ditemui awak Vokal, Sabtu (25/6).
Afdillah menilai, perlunya pengawasan dan regulasi segera dibuat serta dioptimalkan lantaran kondisinya sangat urgent yang mana banyak korban kasus perbudakan ABK.
“Ini urgent segera karena hari ini banyak masyarakat atau banyak korban, banyak ABK bekerja tanpa perlindungan dari negara dan perusahaan yang merekrut mereka,” ucapnya.
Dia menyebutkan tujuan adanya produksi film Before You Eat ini adalah agar memberikan gambaran secara utuh tentang permasalahan perbudakan ABK di Indonesia. Pihaknya mengakui, film tersebut memang belum disebarkan melalui media sosial lantaran tujuan film ini bukan sekadar viral saja, namun bisa membawa merubah situasi.
“Film ini tidak butuh sekadar menjadi viral saja. Kita butuh film ini benar-benar merubah situasi, merubah tata kelola, melahirkan regulasi, kemudian menghadirkan pemerintah. Kita bangun, kita bawa film ini ke masyarakat ke orang-orang yang memang kita pikir punya kemampuan lebih untuk bisa membantu mengadvokasi mengkampanyekan itu,” terangnya.
Dalam kesempatan yang sama, Ketua Komisi E DPRD Jateng, Abdul Hamid menanggapi bahwa isu kasus perbudakan ABK ini menjadi tanggung jawab pemerintah pusat dan daerah, yang mana berkewajiban memberikan regulasi dan pengawasan dalam perlindungan buruh migran.
“Ini pastinya urusan konkuren, baik pusat maupun daerah. Lalu, pemerintah daerah berkewajiban untuk memberikan satu kompetensi bagi calon-calon ABK yang akan dikirim. Terus nanti pusat, bagaimana secara regulasi mengatur prasyarat perlindungan yang ada,” jelasnya.
Menurutnya, permasalahan ini sangat kompleks dan harus sesuai aturan yang diatasnya mencakup perlindungan ABK itu sendiri. Hamid menyebutkan, hingga saat ini perancangan Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) belum selesai dan perencanaannya masih terus berjalan.
“RPP juga belum jadi harmonisasi sehingga dari sektor ketenagakerjaan juga KPP (Kantor Kelautan dan Perikanan) sudah punya aturan sendiri. Harapannya, harmonisasi bisa cepat nanti bisa diturunkan ke peraturan daerah. Jadi, peraturan daerah nantinya mengacu bagaimana mengatur sirkulasi melakukan perizinan atau pelatihan dan lain sebagainya,” ujarnya.
Disinggung soal penyikapan dari DPRD Jateng, ia menjelaskan bahwa saat ini masih menggunakan peraturan daerah yang memuat tentang ketenagakerjaan. Namun, tahun depan pihaknya akan membahas terkait hal tersebut bersama Pekerja Migran Indonesia (PMI).
“Kalau DPRD Perda-nya sekarang kaperdanya masih ketenagakerjaan dan rencana tahun depan ke PMI akan menyentuh kesana. Karena itu, sebuah aturan yang sangat kompleks dan sangat banyak sekali pengaturan-pengaturan detail yang ada di bawahnya,” katanya.
Penulis: Safira Nurulita
Editor: Eva Arifatul Mahmudah