Artsotika Muria II : Seni dan Kepedulian Terhadap Lereng Muria

Sumber : vokalpers.com

Banyak kabar dan data mengatakan bahwa Pegunungan Muria yang terbentang sepanjang 3 kabupaten di Jawa Tengah yaitu Pati, Kudus, dan Jepara ini mulai pudar keindahannya dan keasriannya. Persoalan yang dirasa paling berat merupakan kerusakan lingkungan di area lereng Gunung Muria yang marak terjadi. Bisnis mata air secara ilegal, galian C, dan penebangan liar misalnya. Bukan hanya persoalan kerusakan lingkungan, kesenian dan kebudayaan lereng Gunung Muria pun turut memudar.

Kondisi itu mendorong semangat dari berbagai komunitas pecinta alam, pegiat lingkungan, pegiat seni, bahkah masyarakat setempat lereng Gunung Muria untuk menyelenggarakan gerakan peduli lingkungan lereng Gunung Muria dan persembahan seni. Acara ini dikemas apik dengan nama Artsotika. Dilansir di detiknews.com Widyo Leksono, menjelaskan Artsotika merupakan penggabungan dari kata art dan eksotika. Art yaitu seni, dan eksotika yang berarti eksotis atau memiliki daya tarik yang khas. Kegiatan ini juga bertujuan untuk mensosialisasikan dan mengajak khususnya kepada masyarakat lereng gunung Muria untuk merawat Muria. Terdapat 24 desa yang terdapat di lereng Gunung Muria yang rencananya akan dikunjungi guna kegiatan tersebut.

Minggu (27/12) Artsotika jilid II bertemakan “Memayu Gunung Turu” telah diselenggarakan di Hutan Pinus Pangonan, Gunung sari, Pati, Jawa Tengah. Walaupun berada di tengah pandemi COVID-19, hal ini tidak menyulut semangat para pegiat lingkungan dan pegiat seni untuk menyelenggarakan acara tahunan ini. Apalagi Tanggal 28 Oktober 2020 lalu kawasan Muria ditetapkan sebagai Cagar Biosfer oleh UNESCO. Tentu saja dalam acara ini tidak lepas dari protokol kesehatan. Artsotika II agak berbeda dengan Artsotika I yang mana kegiatan Artsotika II lebih singkat namun tidak menghilangkan unsur kepedulian terhadap lingkungan dan juga kesenian.

Acara ini dimulai dengan agenda tanam pohon yang dipimpin oleh Widyo Babahe Laksono. Sejarawan yang akrab dipanggil Babahe ini, mengawali tanam pohon dengan orasi kebudayaan yang berisi tentang ajakan melestarikan lereng gunung Muria. Kidung dan suling turut menghiasi agenda tanam pohon ini. Bibit pohon yang kurang lebih berjumlah 100 buah ditanam di lereng yang berjarak kurang lebih 500 meter dari tempat wisata hutan pinus Pangonan.

Setelah agenda tanam pohon, kemudian dilanjutkan dengan agenda musikalisasi puisi dan teatrikal yang tampilkan oleh beberapa pegiat karya dan literasi. Puisi-puisi yang dipersembahkan adalah puisi tentang Muria. Setelah itu ada teatrikal yang mana dilengkapi dengan tarian serta melukis on the spot.

Tak berselang lama, acara dilanjutkan lagi dengan sarasehan yang dihadiri oleh Moch. Widjanarko dari MRC Indonesia. Dalam sarasehan ini para pegiat lingkungan dan seni saling sharing dan berbincang tentang Muria.

Acara ditutup oleh persembahan seni dari Komunitas Seni Samar. Persembahan ini dinamakan dengan Barongan Kudus. Barongan ini sangat berbeda dengan barongan pada umumnya, yang mana berbeda dari segi bentuk dan bahannya. Barongan ini terbuat dari anyaman dari bahan alam dan kostum dikombinasikan dengan kain putih. Dalam postingan ig @komunitassamar disebutkan bahwa barongan ini menonjolkan karakter sedulur 4, 5 pancer dalam tiap barongan.

“Harapannya masyarakat lebih terbuka wawasannya terhadap lingkungan dan lebih memikirkan anak cucu kelak, semoga lereng gunung Muria tetap lestari”, pesan Widyo. Bukan hanya sebagai sosialisasi peduli lingkungan, namun acara ini juga sebagai ajang pelestarian budaya lereng Gunung Muria.

Penulis : Eva Arifatul Mahmudah